Kucermati foto lusuh kita berdua, satu-satunya foto yang kupunya. Entah, tak kuhitung berapa lamanya kupandangi wajahmu ini. Foto ini tak mampu mengurangi kerinduanku padamu, Bunda. Langit terbentang diatas pun tentu tahu seberapa besar kerinduanku ini. Tak mampu lagi kupendam kerinduanku ini, Bunda.
Bersama bintang, kuteteskan air mata kerinduan ini.
Bersama angin, kupejamkan mata. Terlintas beberapa sketsa-sketsa indah kita berdua. Wajahmu, candamu, tawamu, keceriaanmu, juga nasihat-nasihatmu. Aku merindukan semua tentangmu, Bunda.
Timika-Tangerang, itulah jarak yang memisahkan kita. Entah berapa mil jauhnya, tak sanggup tuk kuukur. Sejauh jarak antara kita, sejauh itu pula aku merindukanmu, Bunda. Raga kita memang terpisah tapi tidak dengan hati kita, selalu dekat.
Bersama nafas, kuingat kala kau mengantarkan kepergianku di Bandara Soekarno-Hatta. Di sana, di tempat perpisahan itu kau tuturkan kata-kata nan indah. Kau tahu? Sampai detik ini kata-kata yang telah kau ucapkan itu masih sangat membekas dibenak dan juga kalbuku. Kau berikan semangat tukku. Kau tegarkan aku saat aku menangisi perpisahan ini, Bunda.
“Tegarlah, Nak! Jangan kau tangisi perpisahan ini. Kita tidak berpisah untuk selama-lamanya, kan? Kita pasti akan bersama lagi. Janganlah kau bersedih, kau ini laki-laki, putra kebanggaan Bunda. Mungkin sesuatu yang membuat kita menangis dan bersedih pada saat ini adalah sesuatu yang justru kelak akan membuat kita tersenyum bahagia.” Entah, kau kutip darimana kata bijak itu