Dream Room
Oleh : Angger Minerva
Story edisi 25 Sept-24 Okt 2012
Dia mengamatiku, berharap agar aku
menemaninya duduk di sofa ruangan ini. Aku tak mempedulikannya, kuterus
berkutat dengan benda-benda rakitanku. Kali ini sekolah sedang libur semester,
sudah saatnya semua waktu dan pikiranku kucurahkan pada benda seperti lemari
yang dilapisi alumunium ini. Di ruang inilah kuhabiskan waktu untuk bergulat
dengan benda-benda asing ini.
Dream Room, sebuah ruangan kecil yang
terletak di halaman belakang dan terpisah dari bangunan utama rumahku. Aku
sengaja meminta orang tuaku membuat ruangan ini. Ya, di sinilah aku menggantungkan
cita-cita dan segala impianku. Cita-cita yang aneh bagi sebagian kalangan, tapi
tidak untuk keluargaku. Aku memang telah mendapat ilmu turun-temurun dari
almarhum kakek. Tak hanya itu, kakek juga menularkan cita-cita dan impiannya
padaku. Sebagian benda ciptaan-ciptaan kakek telah kami rasakan manfaatnya terutama
untuk keluargaku.
Semula ruangan ini menyatu dengan
kamarku, namun orang tuaku merasa terganggu atas aktifitasku yang cenderung
pada malam hari dan selalu mengabaikan tugas sekolahku. Hingga mereka
menghalangiku untuk bergelut dengan benda-benda ajaib. Cita-citaku banyak tapi
yang menjadi tujuan utamaku adalah mengubah dunia dan memperbaiki dunia dengan
alat-alat ciptaanku.
“Nara, kumohon dengarkan aku sebentar
saja!” Alana mengeluh kesal.
Kulirik ia sejenak. Dia adalah sahabatku,
kita bertemu saat acara Mabis (Masa Bimbingan Siswa) tahun lalu di sekolah.
Meski kami baru kenal sekitar sepuluh bulan lalu tapi kami sangat dekat seakan
kami telah saling mengenal bertahun-tahun lamanya.
Dia, salah satu gadis cantik di sekolah.
Tubuhnya begitu ideal dengan usianya. Kadang aku merasa minder bila harus
berteman dengannya. Siapalah aku ini? Pria kurus, tinggi dan berkacamata tebal.
Tidakkah ia malu bila bersahabat denganku? Aku adalah sosok lelaki penakut sedangkan
dirinya sosok wanita yang tegar, diusianya yang masih belia ia telah menjadi
yatim piatu. Dan kini ia tinggal bersama Bibinya, di Surabaya. Dan rumah kami
saling bersebrangan.
“Nara, kau masih menganggapku ada kan?”
ia mendekatiku.