Monday 19 November 2012

 November 19, 2012         No comments
Dream Room
Oleh : Angger Minerva
Story edisi 25 Sept-24 Okt 2012






Dia mengamatiku, berharap agar aku menemaninya duduk di sofa ruangan ini. Aku tak mempedulikannya, kuterus berkutat dengan benda-benda rakitanku. Kali ini sekolah sedang libur semester, sudah saatnya semua waktu dan pikiranku kucurahkan pada benda seperti lemari yang dilapisi alumunium ini. Di ruang inilah kuhabiskan waktu untuk bergulat dengan benda-benda asing ini.
Dream Room, sebuah ruangan kecil yang terletak di halaman belakang dan terpisah dari bangunan utama rumahku. Aku sengaja meminta orang tuaku membuat ruangan ini. Ya, di sinilah aku menggantungkan cita-cita dan segala impianku. Cita-cita yang aneh bagi sebagian kalangan, tapi tidak untuk keluargaku. Aku memang telah mendapat ilmu turun-temurun dari almarhum kakek. Tak hanya itu, kakek juga menularkan cita-cita dan impiannya padaku. Sebagian benda ciptaan-ciptaan kakek telah kami rasakan manfaatnya terutama untuk keluargaku.
Semula ruangan ini menyatu dengan kamarku, namun orang tuaku merasa terganggu atas aktifitasku yang cenderung pada malam hari dan selalu mengabaikan tugas sekolahku. Hingga mereka menghalangiku untuk bergelut dengan benda-benda ajaib. Cita-citaku banyak tapi yang menjadi tujuan utamaku adalah mengubah dunia dan memperbaiki dunia dengan alat-alat ciptaanku.
“Nara, kumohon dengarkan aku sebentar saja!” Alana mengeluh kesal.
Kulirik ia sejenak. Dia adalah sahabatku, kita bertemu saat acara Mabis (Masa Bimbingan Siswa) tahun lalu di sekolah. Meski kami baru kenal sekitar sepuluh bulan lalu tapi kami sangat dekat seakan kami telah saling mengenal bertahun-tahun lamanya.
Dia, salah satu gadis cantik di sekolah. Tubuhnya begitu ideal dengan usianya. Kadang aku merasa minder bila harus berteman dengannya. Siapalah aku ini? Pria kurus, tinggi dan berkacamata tebal. Tidakkah ia malu bila bersahabat denganku? Aku adalah sosok lelaki penakut sedangkan dirinya sosok wanita yang tegar, diusianya yang masih belia ia telah menjadi yatim piatu. Dan kini ia tinggal bersama Bibinya, di Surabaya. Dan rumah kami saling bersebrangan.
“Nara, kau masih menganggapku ada kan?” ia mendekatiku.
“Iya, Lan. Aku dengar,” jawabku dan memintanya tak mendekatiku dengan alat-alat rakitanku, ia segera duduk di sofa.”Kamu mau cerita apa sih. Soal cowok kan?”
“Devin,” sahutnya disertai anggukan kecil.
Devin adalah kekasihnya saat ini. Seorang lelaki yang telah mengisi kekosongan hatinya selama tiga bulan ini. Ia murid kelas dua belas dan pindahan dari Jakarta. Ia lebih cocok bersanding dengannya daripada denganku. Tapi akhir-akhir ini kulihat hubungan mereka sedikit bermasalah.
“Kenapa lagi Si Devin? Selingkuh? Enggak tepati janji?” sahutku.
“Bukan.”
“Lalu?” aku masih sibuk dengan alat-alatku sambil sesekali menatapnya.
“Dia mau kuliah di Jakarta. Aku tak mau berpisah dengannya, Nar.”
Aku terus fokuskan pikiran dengan alat-alatku. Sepertinya ia kesal karena aku tak menanggapinya dengan serius. Ia menghampiriku.
“Bisa nggak sih kau dengarkan aku dulu! Kau lebih memilih benda-benda aneh itu daripada aku, sahabatmu? Hah?”
“Kau marah?” ujarku merasa bersalah.
“Sudahlah, fokuslah pada cita-citamu itu!” ia memalingkan wajahnya.
“Apa ada yang salah dengan cita-citaku?” aku balik tanya.
“Tak ada yang salah dengan cita-citamu, semua orang mempunyai cita-cita termasuk aku.”
“Lalu apa cita-citamu?” sengaja kualihkan pembicaraan, aku muak bila ia terus menerus menceritakan Devin. Sakit rasanya hatiku ini.
“Tentu, aku ingin bertemu almarhum ayah, melihat bagaimana aktifitas semasa hidupnya?”
Bertemu dengan almarhum ayah adalah impiannya sejak dulu, impian yang telah lama kuketahui. Aku selalu bertanya akan cita-citanya itu, pura-pura tak tahu namun ia pun tak pernah lelah menceritakan cita-citanya. Ia begitu ingin bertemu dengan ayah, ayah yang telah meninggal sejak ia berusia enam bulan dalam kandungan ibunya. Tentulah selama ini ia hanya dapat memandang wajah ayah melalui pigura-pigura di rumahnya.
Cita-citanya itulah telah membuatku terdorong membuat sebuah alat canggih yang kurancang saat ini. Ya, sebuah mesin penembus masa lalu. Aku ingin mempertemukannya dengan ayahnya. Pastilah ia akan bahagia bila harapannya itu terwujud.
Suara nada dering handphone membuyarkan lamunanku, suara yang berasal dari handphone miliknya.
“Iya, Beib.” Sapanya pada orang di seberang sana.
Beib. Pastilah yang meneleponnya adalah Devin. Beib, panggilan kesayangannya. Akh… seperti ada yang menikam ulu hatiku. Sakit. Bukan hanya saat ini saja aku merasakan sembilu di hatiku. Bukan pertama kalinya aku merasakan hal ini. Sudah sekian kali jutaan belati tak pernah lelah menusuk hatiku. Dan tetap aku tak mampu mengatasinya.
Ia segera berlalu meninggalkanku tanpa ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Kumaklumi saja, mungkin ia lupa berpamitan padaku. Sudah menjadi sifatnya; pelupa.
Aku terus berkonsentrasi pada alat-alat rakitanku. Berhasil, sebuah mesin yang terangkai dalam benakku kini telah selesai kubuat. Kurasa semua telah sempurna. Sudah waktunya mesin penembus waktu ini kugunakan. Sekian lama aku megotak-atiknya kini berhasil juga kuselesaikan.
Handphone-ku bergetar, sebuah pesan masuk dari Alana. Benar dugaanku, ia lupa berpamitan padaku. Ingin aku mengabarinya bahwa aku telah menyelesaikan benda ciptaanku. Namun kuurungkan niat itu. Seandainya ia tahu bahwa aku berhasil, pastilah ia akan bersemangat mencobanya. Tapi kini ia tak ada di sini, haruskah kucoba sendiri mesin penembus waktu ini? Berselancar ke masa lalu dan masa yang akan datang.
Tanpa kupikir panjang, aku segera masuk kesebuah benda seperti lemari, benda itu kusebut X-Room. Dan tentu aku tak lupa menggunakan X-Watch di lengan kiriku. Sebuah alat pengontrol waktu. X-Watch lebih cepat kuselesaikan dibanding X-Room karena memang ukurannya lebih kecil dibanding X-Room, terlebih X-Room lebih rumit dibanding X-Watch.
Segera kuubah waktu yang ingin kutuju pada X-Watch, enam belas tahun yang lalu dan tentu kuubah juga pada deretan tombol pada dinding X-Room dengan waktu yang sama. Muncul dua buah sinar dari lensa X-Room dan X-Watch. Kedua sinar itu menyatu membentuk warna-warni pelangi, me-ji-ku-hi-bi-ni-u; begitu indahnya. Pertanda kedua alat tersebut sedang berproses. Sesaat kupejamkan mata, berharap mesin buatanku ini tidak gagal dan tak membahayakan nyawaku.

Aku berdiri di sebuah gedung, seperti gedung pengadilan. Terdengar suatu persidangan yang sengit di dalam gedung. Aku segera menuju ke sumber suara.
Di ruangan itu aku melihat seorang hakim mengetuk palunya tiga kali. Pertanda keputusannya tak dapat diganggu gugat. Sial, aku terlambat datang. Aku sama sekali tak paham dengan persidangan itu. Kucoba bertanya pada seseorang di dekatku, namun entah sepertinya ia tak mendengarku. Aku pun melakukan hal sama dengan orang lain. Tetap, mereka tak ada yang mendengarku. Akhh… sepertinya mesin buatanku ini gagal, mereka tak bisa mendengar dan sepertinya mereka juga tak mampu melihatku.
Terlihat beberapa wartawan meyerbu ke salah seorang berpakaian seragam Polisi. Aku tak mengetahui namanya dan siapa sosoknya namun pasti aku ingat, aku pernah melihat wajahnya, entah dimana? Kudengar salah satu wartawan menyebutkan namanya, Alandi Nugraha. Astaga, kini kutahu siapa dia. Sosoknya pernah kutemui di pigura-pigura yang terpasang di dinding rumah Alana. Ya, lelaki itu adalah Ayah Alana. Seandainya Alana ada di sini pastilah ia ingin memeluk ayahnya itu.
Ayah Alana telah menangani sebuah tindakan korupsi seorang bernama Samsul Prasetyo. Sebagai seorang Polisi memang harus menegakkan keadilan, itu yang menjadi tugas Ayah Alana. Akhh… Alana pasti bangga menjadi anaknya.
Mendadak, tubuhku ditarik oleh sebuah kekuatan persis sebuah kekuatan angin tornado. Hingga membuat aku berada disuatu tempat yang tak kukenal..
Ayah Alana berjalan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan depan rumah makan khas Jawa. Diseberang jalan kulihat seseorang bertopeng dari dalam mobil sedang menyiapkan sebuah senjata, seperti sebuah pistol. Ia arahkan peluru pada Ayah Alana. Ingin kucoba menghalanginya, namun tak bisa. Peluru itu menembus tubuhku dan bersarang tepat di dada Ayah Alana yang kala itu berada di belakangku. Orang-orang di sekitar segera menolong beliau dan seorang bertopeng itu bergegas pergi bersama mobilnya. Sempat kuingat plat nomor mobilnya. Lagi, aku pernah melihat plat nomor tersebut dan mobil itu sudah tak asing lagi bagiku. Ahkhh… semua belum jelas.
Kembali, aku diseret kekuatan angin yang sama.
Di sebuah ruangan terlihat seorang remaja lelaki sedang membaca surat kabar, ia tersenyum penuh kemenangan. Lantas seorang bocah lelaki menghampirinya. Mereka seperti kakak beradik.
“Kau tahu, istri seorang Polisi yang telah menghancurkan keluarga kita telah melahirkan sorang putri. Kita harus menghancurkan mereka!” ujarnya antusias pada sang adik. Tak peduli bila si adik tak mengerti maksud pembicaraannya.
Kudengar ia menceritakan kejadian tiga bulan yang lalu. Ketika itu ayahnya masuk penjara karena ketahuan melakukan tindakan korupsi. Padahal ayahnya hanya menikmati dua puluh persen saja, dan selebihnya orang lain yang menikmatiya. Ayahnya pun memakai uang itu dengan tujuan yang baik, ia hanya ingin membiayai pengobatan sang ibu. Sudah lama ibu sakit parah.
Namun karena perkara itu, ibu tak pernah lagi berobat dan Tuhan lebih dulu memanggilnya. Dan disusul penyakit jantung ayahnya yang kambuh hingga kehilanagn nyawa. Aku sangat miris mendengarnya. Kini mereka hanya tinggal berdua, ia baru saja menyelesaikan pendidikan SMA-nya dan kini harus membiayai kehidupannya dengan adik semata wayangnya itu.
“Kakak telah membunuh Sang Polisi, dan segera menyusul menghabisi istrinya. Kini menjadi tugasmu untuk menghancurkan anaknya, kelak.”
Aku terkejut mendengar penjelasannya. Dialah yang membunuh Ayah Alana. Juga telah membuat rangkaian kecelakaan yang dialami Ibu Alana beberapa waktu lalu. Akhhh… dadaku terasa sesak tak bertepi.
Lagi, kekuatan angin itu menyeretku.
Terdampar kesebuah ruangan dengan tokoh yang sama. Seorang lelaki dewasa dan lelaki remaja. Sepertinya bocah lelaki itu telah beranjak remaja.
Kucoba membenarkan letak kacamata minusku. Menyakinkan diri bahwa yang kulihat bukan sekedar kekeliruan semata. Ya, aku mengenal lelaki remaja itu, dia adalah Devin.
“Kau harus sekolah di sana. Putri Sang Polisi itu sekolah di sana. Kini ia beranjak remaja, dan kini kau pasti tahu tugasmu, kan? Jangan lupakan tujuan kita pindah ke Surabaya!”
“Iya Kak. Devin tahu tugas Devin. Devin harus merebut hatinya lantas menghancurkannya menjadi berkeping-keping. Ia harus merasakan sakit yang kita rasakan sejak kecil!” jawab Devin membara.
Ternyata benar dugaanku, Devin memang bukan orang yang baik. Ingin sekali aku memukul mereka berdua, namun aku tak mampu melakukannya. Akhh… waktu tak mampu kutembus secara nyata.
Angin kembali menyeretku, ke sebuah ruangan. Seperti sebuah kamar kost. Ya kamar kost milik Devin. Aku bergegas memasuki kamar kost itu. Kulihat, Alana telah membujur kaku, dengan darah bersimbah di perutnya, juga leher seperti telah di sembelih. Kupeluk erat tubuh kakunya. Aku terlambat datang, padahal aku belum mengungkapkan segala perasaanku padanya. Aku berteriak histeris.
Aku tersadar, aku masih berada di mesin penembus waktu. Kuperiksa sederet angka di X-Watch, tertera tanggal yang sama dengan kehidupan nyata namun hanya selisih dua jam dari waktu ketika kumemasuki X-Room. Kini aku berada di masa depan. Ya, future. Segera kuotak-atik X-Watch berharap dapat kembali ke kehidupan nyata. Sebuah kehidupan kala ini, Present.
Sekian detik aku telah berada di X-Room. Aku bergegas keluar dan menuju tempat kost Devin. Beruntung, tempat kost Devin tak terlalu jauh. Hanya berjarak sekitar tiga kilometer.
Terdengar seseorang meminta tolong, kuyakin itu pasti suara Alana. Beruntung, aku datang bersama segerombolan Polisi. Aku mendobrak pintu kamar kost Devin, terlihat Devin mencoba membunuh Alana dengan sebilah pisau. Polisi segera meringkuknya.
Syukurlah aku tak terlambat datang. Kuhampiri Alana yang tengah ketakutan. Ia memelukku sambil terisak.
“Kau aman bersamaku, Lan.” hiburku.
“Kakaknya telah membunuh Ayah dan Ibuku, Nar.”
“Iya, aku tahu.”
“Kau tahu darimana?” ia tampak heran.
Aku tersenyum, “Mesin Penembus Waktu itu telah selesai aku kerjakan, dan aku mencobanya. Kembali ke masa lalu dimana kita belum terlahir.”
“Kau bertemu ayah? Apa alat itu juga yang telah membuatmu mengetahui bahwa aku juga akan dibunuhnya?”
“Tentu.” Jawabku singkat.
Ia nampak begitu senang, pasti ia juga ingin seperti aku yang dapat menembus waktu.
“Maaf, Lan. Alat itu telah rusak. Aku gagal mempertemukanmu dengan ayahmu. Maaf.” jawabku tak bersemangat.
“Sudahlah, kau jangan seperti itu. cita-citaku kini tidak lagi bertemu ayah, biar ayah dan ibu tenang di sisi-Nya. Aku hanya ingin bersamamu,” ia tersenyum.
Ingin sekali kuungkapkan segala perasaanku padanya, namun niat itu kuurungkan. Tidak, bukan sekarang waktu yang tepat. Tapi yang jelas aku tahu, dari mesin penembus waktu itu, bahwa dialah yang akan menjadi pendampingku kelak.

----Selesai---

0 komentar:

Post a Comment

About Me

Hai Teman...

Blog ini dikembangkan oleh Angger Minerva. Seorang yang hobi menulis, namun beberapa tahun terakhir sudah tidak aktif lagi menulis. Dan kini, ingin kembali menulis terutama di blog ini.

Berencana mengembangkan blog ini untuk berbagi hal-hal yang diketahuinya, hal-hal yang ada dipikirannya, juga hal-hal seputar ilmu komputer. Btw, saat ini dia sedang melanjutkan studi di Magister Ilmu Komputer di Universitas Swasta di Jakarta. Jika teman-teman menemukan kekeliruan, jangan sungkan untuk mengoreksinya.

Akhir kalimat, salam kenal, salam bahagia, salam ceria.

-A.M.-

Popular Posts

Blog Archive