Kutatap tajam matanya. Lelaki berusia enam puluh dua tahun yang duduk dihadapanku adalah sosok atasan dan telah kuanggap sebagai ayahku. Kami sedang berseteru. Bermula dari artikel yang kutulis dan kuajukan padanya tiga minggu lalu. Dia menolak tulisanku tanpa memberikan sebab-musababnya.
"Saya tidak akan meloloskan tulisanmu!" Lelaki itu tetap pada pendiriannya.
"Saya akan tetap menerbitkan tulisan ini! Kasus korupsi ini harus kita selesaikan, Pak!" Ketusku tak mau mengalah.
Kuhela nafas panjang. Perseteruan ini takkan selesai tanpa kepala dingin atau ada salah satu diantara kami yang mengalah. Kami sama-sama keras kepala, sudah pasti diantara kami tak ada yang mau mengalah. Kulangkahkan kaki meninggalkan ruangan kerjanya.
“Ajeng, saya mohon jangan lakukan hal itu! Kau tak mengerti apa yang sedang terjadi!” Dia melarangku dan aku tak peduli itu.
Kuambil sebuah kamera di laci meja kerjaku. Kamera yang selalu menemani hari-hariku sebagai Reporter. Kumulai membuka folder foto-foto. Kucermati satu per satu foto pada folder khusus. Folder khusus ini berisi bukti-bukti korupsi yang kutuliskan dan juga telah kuajukan pada Pak Sofyan; atasanku. Entah mengapa dia tak mengijinkan untuk menerbitkan tulisanku ini? Padahal aku telah miliki bukti kuat.
Mataku terperanjat saat melihat foto urutan ke-93, meski masih dengan kasus dan model yang sama. Anehnya, aku tak pernah mengabadikan kejadian yang terekam pada foto ini.
Bahkan aku sendiri tak mengenal setting lokasinya. Aku semakin heran kala kuperiksa waktu pengambilan foto tersebut; 23 April 2004. Mana mungkin aku yang telah melakukan pengambilan foto itu? Tentu saja saat itu aku masih duduk dibangku kuliah. Bukankah aku baru tiga tahun memiliki kamera ini?
Kupikir foto aneh itu hanya ada satu, tapi dugaanku salah; jumlahnya puluhan. Kuperhatikan foto-foto itu –semakin membuatku penasaran. Setidaknya foto-foto aneh itu akan menambah bukti-bukti yang kumiliki. Mendadak kurasakan ada sesuatu tengah mengawasiku; mengawasi seluruh gerak-gerikku.
Kulemparkan pandangan ke ambang pintu ruang kerjaku yang kubiarkan terbuka, disana ada sosok wanita sedang berdiri. Rambut panjangnya tergurai menutupi sebagian wajahnya.
"Hey, kamu lembur juga?" Sapaku, dia hanya mengangguk sesaat.
Kala sekejap mata kualihkan pandangan ke kamera, wanita itu lenyap dari pandangan. Segera kucari wanita itu, kuperhatikan suasana sekitar ruang kerjaku namun pandanganku hanya terbentur pada suasana sepi dan gelap. Rasa aneh menyergapku, bulu romaku meremang, kurasakan ada sesosok sedang memperhatikanku. Kulirik jam tangan, tak kusadari malam telah menunjukkan pukul 22:15. Segera kuambil tas di atas meja kerjaku dan bergegas pulang.
Sepertinya keadaanku benar-benar sedang terancam. Mungkin kaki tangan Pak Bayu Nugroho telah mengintaiku. Bayu Nungroho adalah pelaku korupsi yang akan aku kuak. Lalu mengapa dia tahu tentang tulisanku itu? Padahal aku hanya memberitahu pada Pak Sofyan.
Bukankah semakin nyata jika Pak Bayu telah melakukan tindakan korupsi? Jika tidak, untuk apa dia repot-repot memerintahkan kaki tangannya untuk mengintaiku?
Aneh, itulah yang kurasakan. Aku memang diintai oleh dua hal, salah satunya adalah kaki tangan Pak Bayu dan satu lagi entah siapa? Entah berwujud apa? Yang kutahu sosok absurd itu selalu menolongku setiap kali kaki tangan Pak Bayu berbuat ulah.
***
Kudapati Pak Sofyan berdiri mematung di ruang kerjaku. Entah apa tujuannya mendatangi ruang kerjaku? Telah kesekian kali aku menemukannya dalam keadaan seperti ini. Dia usap air matanya setelah kukagetkan dengan sapaanku.
"Ada perlu apa ya, Pak?"
Dia hanya diam tak memberitahukan isi pikirannya, bergegas meninggalkanku sendirian.
"Pak, saya akan tetap mempublikasikan tulisan saya itu!" Kukatakan dengan lantang, meski kutahu dia tak memperdulikanku.
Ku tak habis pikir atas sikap Pak Sofyan akhir-akhir ini. Dia lebih sering berkunjung keruang kerjaku, lebih sering dari biasanya dan dengan tujuan yang tak kuketahui pasti. Mulanya aku hanya berpikiran jika dia hanya mengawasi kinerjaku bekerja saat aku menjadi karyawan baru disini.
Ternyata dugaanku salah, sebab sampai detik ini pun dia sering ke ruang kerjaku. Tidak itu saja keanehannya, entah mengapa dia melarang tulisanku tuk dipublish? Bukankah selama ini dia selalu menyukai tulisan-tulisanku? Satu hal yang tak bisa kuterima, dia tak pernah bisa menjawab pertanyaanku saat kumintai alasan tersebut.
Sore itu dengan semangat berkobar, kutemui Pak Sofyan di ruang kerjanya. Tentu dia sudah paham maksud kedatanganku, pastilah membahas tulisanku, namun kali ini prediksinya meleset.
"Rasanya percuma saja bila saya terus bertahan diperusahaan ini kalau tulisan saya tidak bisa diterima oleh Bapak! Maka itu saya memilih untuk mengundurkan diri!" Jelasku penuh keegoisan, dia terkejut atas penjelasanku. Segera kulangkahkan kaki meninggalkannya setelah kuletakkan surat pengunduran diri di atas mejanya.
Pak Sofyan mendatangiku di ruang kerjaku. Apakah dia menyetujui surat pengunduran diriku? Rasanya tidak, dia malah memberiku sebuah berkas dokumen. Kuterima dokumen pemberiannya itu dengan penuh tanda tanya.
"Itu semua adalah jawaban-jawaban yang selama ini kau cari." Sebelum dia berlalu, sempat kulihat dia mengusap setitik embun di ujung matanya.
Perlahan kubuka serta kubaca dokumen itu. Isinya adalah beberapa artikel seseorang, di bawah artikel itu tertulis sebuah nama; Kintan Rahayu. Kubaca seluruh artikel itu, masih dengan penulis yang sama. Mendadak perasaan aneh menyergapku kembali. Artikel itu serupa dengan tulisan yang kuperdebatkan dengan Pak Sofyan tempo hari; artikel yang berisi tindakan korupsi oleh Pak Bayu. Bukankah itu berarti dahulu pernah ada seseorang yang menguak kasus ini?
Entah apa yang terjadi, aku merasakan telah memasuki alam lain; alam antah berantah. Perlahan kuberjalan menyusuri suatu gedung megah, yang kuingat gedung ini adalah kantorku. Suasana kantor tak seperti yang biasa kulihat, desain dan perabot-perabotnya nampak berbeda.
Kudengar teriakan seorang wanita yang sedang ketakutan. Kudekati tempat dimana suara itu berasal. Suara itu berasal dari salah satu ruangan di gedung ini. Ruangan yang tak asing lagi bagiku; ruangan yang kini menjadi ruang kerjaku.
"Tolooong! Mereka akan membunuhku." wanita itu merintih ketakutan.
Sepertinya aku mengenali wanita itu, wanita yang beberapa waktu lalu berdiri di ambang pintu ruang kerjaku. Dari arah lain, tiga orang lelaki mendekatinya bahkan menghakiminya. Ingin rasanya menolong wanita itu namun apa daya, aku tak miliki kemampuan apapun, mungkin saja aku hanya ditakdirkan oleh Tuhan sebagai penonton.
Aku sangat terkejut saat salah satu diantara mereka menancapkan sebilah pisau pada perutnya. Dia pun tewas seketika dan para lelaki itu menguburnya tepat dibelakang kantor; menguburnya dengan tak layak. Sungguh tragis nasib wanita itu. Hatiku begitu teriris. Lalu untuk apa lelaki itu membunuhnya? Dia salah apa?
Aku terbangun, rupanya aku tertidur di atas artikel-artikel. Kulihat jam tanganku; sudah tengah malam. Kurasakan ada sesuatu hal aneh, kurasa kaki tangan Pak Bayu akan menerkamku malam ini juga. Benar saja, segerombolan lelaki tak kukenal memasuki ruang kerjaku. Aku panik, berpikir keras agar dapat lolos dari terkaman mereka.
Beruntung, kekuatan dan sosok absurd itu menolongku kembali hingga aku berhasil lolos. Kuberlari keluar kantor dengan nafas tersenggal-senggal. Ternyata di luar kantor sudah ada segerombolan Polisi, juga Pak Sofyan. Segera kupeluk Pak Sofyan -erat. Kurindukan sosoknya yang selalu melindungi dan memberiku semangat.
***
Ada beberapa hal penting dalam hidupku. Pertama, Pak Sofyan mengijinkan tulisanku untuk di publish. Kedua, kasus korupsi yang dilakukan Pak Bayu akan segera dituntaskan. Dan satu hal lagi yang tak kalah penting, sebuah makam tak terduga di belakang kantor akan segera dibongkar. Makam itu adalah makam wanita bernama Kintan Rahayu; putri Pak Sofyan yang tujuh tahun lalu mendadak menghilang bertepatan saat artikel tulisannya tentang kasus korupsi Pak Bayu di publish.
Sejak dia menghilang, penuntasan kasus korupsi ini pun juga ikut menghilang. Rupanya, dia menjadi korban keegoisan Pak Bayu, salah seorang yang memiliki kekuasaan besar di negeri ini. Kini kutahu alasan Pak Sofyan sering mendatangi ruang kerjaku. Ya, karena ruang kerjaku adalah ruang kerja Kintan dahulu. Dan Pak Sofyan melarangku untuk mempublikasikan tulisan itu karena dia tak ingin peristiwa yang dialami Kintan akan terulang kembali. Tapi mengapa harus yang mengalami semua ini?
Kubaca halaman terakhir artikel-artikel Kintan; biografi Kintan Rahayu. Segera kututup artikel itu setelah kutemukan beberapa hal yang membuat dadaku sesak. Ternyata, namaku hampir sama dengan namanya; Kintan Rahayu Sekarwati, sedang aku; Ajeng Syawalia Sekarwati. Lalu tanggal dan bulan kelahiran kami sama; 19 Juni. Juga beberapa kemiripan diantara kami.
Handphoneku bergetar, ada pesan masuk; dari nomor yang tak kukenal. Entah dari siapa? Isinya singkat namun mampu meremangkan bulu romaku.
Terima kasih Ajeng, kau telah menyelesaikan kasus korupsi itu. Kasus yang selama ini membuatku tak tenang. Kasus yang membuatku terluka. -Kintan-
0 komentar:
Post a Comment