Tuesday 17 July 2012

 July 17, 2012         No comments


Dapet inbox yang isinya seperti ini :
Hai Angger
Cerpen Primadona Malam, bakal dimuat di Radar Banten edisi Minggu 15 Juli ini ya.
Tengkyu.
Kalo gak nyadar pas saat itu udah jam 11 malam, mungkin gue bakal teriak dan jingkrak-jingkrak
:D


mau tau cerpen PRIMADONA MALAM itu seperti apa kisahnya?
Yukkk mareeeee di baca.......



Primadona Malam
By. Angger Minerva

Aku duduk terpaku di depan meja rias. Mencermati raut wajah yang kian hari kian jelas tergurat keriput. Kupoles wajah dengan bedak padat coklat, berharap polesan bedak tersebut dapat menutupi keriput wajah. Atau sekadar mengurangi keriput yang terlihat.
Kurapikan gaun merah yang kukenakan. Berharap penampilanku masih seperti saat usia remaja. Juga berharap, aku masih semenarik dulu. Dulu saat aku menjadi primadona dan sekarang aku ingin tetap menjadi primadona.
Primadona bagi lelaki hidung belang. Lelaki yang mencari pelampiasan nafsu birahinya. Lelaki yang tak pernah merasa terbebani mengeluarkan harta bendanya untukku. Lelaki yang terlupa akan istri dan anaknya yang setia menantinya di rumah.
Aku terbangun dari dudukku. Sesaat kurapikan make-up wajah dan kurapikan lagi gaunku. Lantas, aku siap berpergian. Tak perlu mengumpat untuk keluar dari gubuk reot ini. Aku hanya tinggal seorang diri, di pinggiran kota metropolitan.
Kujejaki tanah basah. Langkahku terasa amat perlahan, berusaha memilih jalan bagus agar tak terjebak oleh genangan air yang dibuat sang hujan beberapa jam yang lalu. Aku harus ekstra hati-hati karena tak ingin gaun ini terkotori dengan air kotor jalanan. Bau got hitam begitu menusuk indra penciumanku. Ditambah, di sekitar tempat tinggalku terdapat pembuangan sampah.
Tak perlu takut bagiku jika akan ada tetangga yang menanyaiku. Pastilah di malam seperti ini mereka sudah tertidur pulas, dan kuyakin hujan beberapa jam lalu telah membuat mereka semakin larut dalam lautan mimpi.
Tak perlu waktu lama, aku telah sampai di lokasi yang kutuju. Sudah banyak rekanku yang bekerja dan tentu sudah banyak pula lelaki hidung belang hilir mudik.
“Marsha, kemana aja kamu? Sudah ada yang menunggumu.” ujar Mak Ningsih menyambutku di depan pintu. Ya, dialah penguasa di sini bahkan dia jugalah yang memberi nama Marsha sebagai nama samaranku.
“Maaf Mak,” jawabku santai.
Huh.. baru sampai saja sudah ada lelaki yang tertarik padaku, lelaki yang nafsunya minta dilayani. Dan memang inilah pekerjaanku. Meski awalnya aku teramat jijik dengan pekerjaan ini, tapi lambat laun rasa jijik itu sirna.
Inilah duniaku. Sebuah dunia kelam yang tak terbesit dalam benakku sebelumnya. Dunia yang tak pernah kuyakini dan tak pernah tercium olehku sebelumnya. Namun kini aku ada di sini. Ditempat para pelacur menjajakan kemolekan tubuhnya demi selembar rupiah untuk menyambung hidup. Bukan salah kami memilih pekerjaan seperti ini. Justru kami begitu menyadari atas ketidak-mampuan kami, atas keahlian apapun yang tak kami miliki, atas ijasah apapun yang tak tersentuh oleh kami, dan atas pendidikan yang tak pernah kami enyam sekalipun. Dan inilah kami. Inilah aku dan duniaku; sang primadona malam.
Jangan salahkan kami jika para suami lebih memilih bermalam bersama kami! Jangan salahkan kami jika kami menguras harta benda mereka!
Kami memang menjijikkan, bahkan lebih menjijikkan daripada tikus-tikus got yang berkeliaran dimalam hari. Juga lebih menjijikkan daripada sampah yang membusuk. Ketahuilah, kami lebih baik dibanding orang berjas dan duduk santai di singgasananya dan hanya makan gaji buta.
Sesungguhnya aku pun tak suka dengan keadaanku seperti ini. Tapi karena Cantika –adikku, maka
aku bertahan dengan pekerjaan ini. Aku perlu uang untuk biaya kuliahnya di daerah Tangerang. Sengaja kubiarkan dia jauh dariku agar pekerjaanku tak diketahui. Semoga dia bisa berprestasi menyandang predikat Sarjana. Dan aku, tentulah akan bangga miliki adik seperti dirinya, juga bangga terhadap diriku sendiri karena berhasil mewujudkan impian almarhum Ayah dan almarhumah Ibu semasa hidupnya.
Aku bertekad akan bekerja keras demi Cantikaadikku satu-satunya. Demi dia yang selalu kuharapkan dapat mengangkat derajat kami dimata masyarakat terutama negara –kelak.
***
Sepi. Selalu saja menemani di setiap pagi dan siangku. Hanya berteman sepi. Tak ada gurauan yang menemani. Terkadang aku rindu suara percakapan, terkadang aku rindu ocehan anak kecil. Terkadang aku rindu dicintai.
Sesal memang. Di usia dewasa sepertiku seharusnya sudah sibuk mengurus rumah tangga, terutama suami dan anak. Tapi aku? Aku malah sibuk melacurkan diri, mengobral kemolekan tubuh kepada lelaki hidung belang. Di saat seorang istri menemani malam-malam bersama suaminya, aku malah menemani suami dari para istri lain.
Kadang aku mendamba akan dicintai layaknya seorang wanita. Dicintai oleh lelaki tulus dan bukan lelaki hidung belang yang sering kutemui. Bukan lelaki yang melampiaskan nafsunya pada wanita lain, dan tidak pada istri sahnya.
Aku juga ingin dicinta dan dirindui. Bukan sekadar untuk dicumbu lalu ditinggalkan. Bahkan dilupakan begitu saja dan hanya beberapa lembar uang sebagai ucapan terima kasih, juga sebagai ucapan rasa sayang.
Aku ingin memiliki seorang suami dan beberapa buah hati yang terlahir dari rahimku. Namun kurasa begitu sulit menerima kenyataan bila memang sampai saat ini, belum juga ada lelaki yang begitu tulus mencintaiku bahkan berani menikahiku. Rasanya sulit untuk seorang lelaki mencintaiku dengan tulus. Siapalah aku ini? Aku bukan wanita yang pantas dicintai dengan tulus, karena ketulusan itu telah ternoda. Sama seperti tubuhku. Ternoda oleh puluhan lelaki.
Siapa pula yang sudi menikahi wanita laknat sepertiku? Wanita penggoda lelaki lain bahkan penggoda suami wanita lain. Wanita yang selalu menyodorkan kemolekan tubuhnya hanya demi beberapa lembar rupiah. Apa masih pantas aku untuk dicinta?
Jika cinta memang ada untukku. Maka sudah kupastikan, cinta itu bukanlah cinta tulus melainkan cinta sesaat para lelaki hidung belang. Bila ada lelaki mendekatiku, maka sudah kupastikan bahwa dia akan segera berlalu ketika tahu bahwa aku seorang primadona malam. Hanya para lelaki pendusta cintalah yang tetap bertahan pada primadona malam.
***
Malam ini masih sama seperti malam-malam sebelumnya. Masih sama dengan rutinitas menjemukan nan kelam ini. Masih sama kutemui cinta-cinta palsu para lelaki pendusta cinta.
Aku ingin pergi jauh untuk menghindari tempat ini. Tapi apa dayaku? Inilah pekerjaanku. Disinilah aku mendapatkan selembaran uang. Dan dari sinilah hidupku berkelanjutan. Tak bisa aku bayangkan jika aku benar-benar terlepas dari tempat ini, lalu dengan apa aku peroleh uang? Dengan apa aku melanjutkan hidup? Sedang aku tak miliki kemampuan apapun.
Ini memang pekerjaanku. Aku harus tetap bekerja. Mencari lelaki hidung belang yang bodoh. Ya, bodoh karena mau menikmati tubuhku yang telah kotor ini. Aku harus mendapatkan uang banyak.
Cantika perlu uang untuk biaya kuliahnya. Tak mungkin kubiarkan kuliahnya berakhir di semester 4. Kemarin dia mengabariku bahwa dia perlu uang untuk biaya kegiatan kuliahnya –entah apa namanya aku lupa karena yang kuingat adalah nominal yang diminta. Dua juta rupiah, mungkin itu nominal kecil bagi beberapa orang. Namun itu nominal yang tinggi bagiku.
Tak mengapa bila kuharus kerja lebih ekstra. Semua akan kulakukan demi Cantika, demi kuliahnya, demi masa depannya juga masa depanku.
***
 Malam mulai merangkak. Aku pun merangkak dalam sepi. Merangkak dalam malam kelam. Bahkan ke dalam malam yang semakin kelam. Lebih kelam dibanding malam-malam dimana aku biasa menjadi primadona. Kini, aku tak lagi menjadi primadona malam. Predikat itu telah hilang sejak dua minggu lalu, ketika aku mulai sering jatuh sakit dan perlahan semua pelanggan setiaku menjauhiku. Cinta lelaki pendusta ternyata terbukti palsu adanya. Lihatlah mereka, tak ada yang mendekatiku.
Ya, akupun sadar diri. Pastilah mereka akan menjauhiku. Mak Ningsih pun tega mengusirku dari daerah kekuasaannya itu. Dia tak lagi mempekerjakanku dan tak lagi mengandalkan aku. Tapi itu bukan salah mereka karena menjauhiku. Karena memang aku pantas di jauhi.
Kelam rasanya ketika dokter mengatakan bahwa aku positif terkena HIV-AIDS. Penyakit mematikan. Penyakit terkutuk yang membuat diriku semakin hina. Penyakit yang membuatku kehilangan seluruh harapanku terutama harapan atas kesuksesan Cantika. Bagaimana aku bisa membiayai kuliahnya bila ternyata dua minggu ini saja aku harus kebingungan menyambung hidup?
Lagi-lagi, dunia terasa semakin kelam. Dunia yang kupikir akan terang dan sedikit demi sedikit terpancar secercah cahaya pengharapan, kini kembali meredup bahkan semakin padam. Bagaimana tidak? Tiga hari yang lalu aku berkunjung ke tempat Kost Cantika. Sengaja tak kuberi-tahu dirinya atas kunjunganku. Aku ingin menjenguknya. Tak kupedulikan sakit yang kuderita.
Tapi ternyata, bukan bahagia bertemu adik kesayangan yang kutemui. Mayat Cantika yang terbujur kaku kutemukan tergeletak di lantai kamar kostnya. Mulutnya dipenuhi busa. Beberapa jarum suntik tergeletak di sekitarnya. Terkejut saat kutahu, dia adalah pengguna benda haram sejenis narkoba itu. Parahnya lagi, sudah lama Cantika berhenti dari kuliahnya. Uang kuliah yang selama ini dimintanya adalah untuk membeli benda haram itu.
Kini, aku hanya mampu terbaring lemah di dalam gubuk reot ini, gubuk yang kian hari kian reot seperti si empunya; aku. Aku hanya bisa meratapi nasibku. Nasib yang harus berujung miris. Ya, adik yang selama ini dibanggakan malah mengkhianatiku. Dia meninggalkanku bersama sejuta harapanku padanya. Berlalu tanpa memperdulikan perjuanganku selama ini.
INDONESIA TAK AKAN RUGI JIKA KEHILANGAN SEORANG WARGANYA SEPERTI AKU!!
Kalimat itulah yang selalu kulirihkan disetiap hembusan nafas keputus-asaanku. Rangkaian kata yang menyelimuti malam-malamku. Barisan huruf yang menemani sunyiku. Kalimat itu memang benar adanya.
Indonesia tak akan merugi bila aku mati. Dan aku yakin, tak akan ada yang kehilanganku bila aku tiada. Tapi setidaknya Indonesia tahu bahwa aku punya kisah. Kisah yang tak semua orang memperolehnya dan aku bahagia dengan kisah tragis ini. Biar Indonesia tahu, bahwa aku punya kisah –sebuah kisah sang primadona malam.
Kini. Bukan seperti malam-malam yang telah lalu, ketika aku bercumbu dengan cinta palsu saat menjadi primadona malam, namun akan kutemui ajalku –di ranjang ini.

-Selesai-




Nah itu dia kisahnya?
ada komentar? silahkan! ^_^






Di muat di Radar Banten, minggu 15 Juli edisi 42/tahun XIII



0 komentar:

Post a Comment

About Me

Hai Teman...

Blog ini dikembangkan oleh Angger Minerva. Seorang yang hobi menulis, namun beberapa tahun terakhir sudah tidak aktif lagi menulis. Dan kini, ingin kembali menulis terutama di blog ini.

Berencana mengembangkan blog ini untuk berbagi hal-hal yang diketahuinya, hal-hal yang ada dipikirannya, juga hal-hal seputar ilmu komputer. Btw, saat ini dia sedang melanjutkan studi di Magister Ilmu Komputer di Universitas Swasta di Jakarta. Jika teman-teman menemukan kekeliruan, jangan sungkan untuk mengoreksinya.

Akhir kalimat, salam kenal, salam bahagia, salam ceria.

-A.M.-

Popular Posts

Blog Archive