Kau ingat beberapa kenangan kebersamaan
kita? Baiklah, aku akan menceritakannya padamu dan khusus untukmu.
15 Tahun yang lalu…
Aku bergegas melangkah keluar kelas setelah bel sekolah berbunyi.
Kuterobos murid-murid yang menyesaki koridor kelas. Aku tak ingin kau
menunggu terlalu lama. Aku yakin kau pasti telah menungguku. Dan
dugaanku tak meleset. Aku melihatmu sedang berdiri di pintu gerbang
sekolah dengan ditemani sebuah sepeda ontel –sepeda pemberian Abah saat
kau di Khitan. Sesekali kau usap keringat yang membasahi keningmu –siang
ini mentari terasa begitu menyengat.
Aku berjalan mengendap-endap mendekatimu. Lantas kukagetkan dirimu dari
belakang. Spontan kau terkejut dan aku tertawa penuh kemenangan karena
berhasil menjahilimu. Kini aku sadar, bahwa saat itu kau pasti hanya
berpura-pura terkejut agar aku bisa tertawa lepas. Bukankah setiap hari
aku selalu melakukan hal sama?
“Jahil ya, kamu. Hampir saja jantung Mas mau copot.” Kau menasehatiku
sambil mengusap dada.
Aku hanya memamerkan barisan gigi putihku.
Dan ternyata, dihari berikutnya aku tetap melakukan hal sama.
Aku merindukanmu, Mas.
***
“Kamu ini, mengagetkan saja.” Kau menasehatiku sambil mengusap dada
–lagi.
Benar kan? Aku melakukannya lagi di hari berikutnya. Kau tahu Mas? Aku
tak pernah bosan untuk menjahilimu. Dan sepertinya kau juga tak pernah
bosan menasehatiku.
“Ayo pulang, Mas harus bantu Abah di sawah.” Ujarmu.
Aku pun duduk di boncengan sepeda. Lantas kau mengkayuh sepeda menuju
rumah. Setelah pulang sekolah kau selalu membantu Abah di sawah. Ya, kau
anak lelaki satu-satunya, aku juga anak perempuan satu-satunya Umi dan
Abah. Kita bersekolah di sekolah yang sama. Sebuah Sekolah Dasar Negeri
di daerah perkampungan. Kita memang satu sekolah namun kita berbeda
kelas. Kau duduk di kelas 6 sedangkan aku masih duduk di kelas 3. Ya,
aku masih kecil. Hal itu yang menyebabkan Abah tak mengijinkanku
mengkayuh sepeda ke Sekolah. Beliau lebih mempercayaimu untuk mengkayuh
sepeda dan memboncengku.
Kau juga pasti tahu, selama di bonceng, aku tak tinggal diam. Aku memang
anak pecicilan. Terkadang aku bernyanyi dengan suara jelekku. Terkadang
aku menggoyangkan badan sehingga membuat sepeda oleng dan kau berusaha
mengimbanginya.
“Jangan goyang-goyang seperti itu dong, Dek.” Kau menasehatiku.
Dan seperti biasanya, keesokan harinya aku melakukan hal sama. Tidak.
Aku tidak mengabaikan nasehatmu. Buktinya aku sangat hafal
nasehat-nasehatmu, kan?
Hanya saja ….
Aku merindukanmu, Mas.
***
0 komentar:
Post a Comment