Sore tadi Ariel membawakan sesuatu untukku. Sekotak mungil yang dia genggam di tangan kirinya dan dia angsurkan ke telapak tanganku.
“Bukalah saat menjelang tidur nanti,” katanya.
Aku tak sabar menanti malam. Aku ingin segera membuka kotak mungil berbungkus pink itu.
Kini malam telah menjelang, kantukku mulai menyerang. Aku bersiap membuka kotak itu ketika tiba-tiba ringtone yang aku setel khusus untuk Ariel berbunyi.
“Ya?” sapaku dengan heran.
“Beib, maaf salah ngasih kotak. Jangan dibuka ya. Pliss,”
Omaygot… jadi apa isi kotak ini dan untuk siapa?
Aku terbangun dari tidur siangku. Oh, hanya mimpi. Aku menoleh ke arah handhponeku yang tiba-tiba menjerit. Sebuah panggilan dari Ariel, kekasihku.
“Iya, Beib,” Sapaku.
“Buka pintunya ya, aku di depan rumahmu.”
Sontak aku memutuskan obrolan dan bergegas membukakan pintu untuknya. Dia tersenyum manis kala kubukakan pintu untuknya.
“Baru bangun tidur ya?” ujarnya membuatku tersipu malu.
Saking bersemangatnya menyambut kedatangan pujaan hati, aku tak sempat merapikan rambutku yang acak-acakan ini.
“Aku ke sini hanya untuk memberikan ini untukmu,” Ariel memberikan sekotak mungil yang ia genggam di tangan kirinya padaku. Aku menerima kotak itu dengan perasaan hampa.
“Bukalah saat menjelang tidur malam nanti,” katanya sembari berlalu meninggalkanku yang masih terpaku di depan pintu.
Malam telah datang, jam dinding di kamarku telah menunjukkan pukul 21:15. Sudah waktunya aku tidur, terlebih esok aku harus berangkat ke sekolah. Kulirik kotak mungil pemberian Ariel tadi sore. Sebuah tanda tanya masih menggantung di pikiranku, tapi aku harus membukanya! Segera kuraih kotak itu, perlahan kubuka pita yang menghiasinya. Mendadak handphoneku berdering, sebuah panggilan masuk. Kutatap layar handphone, sebuah nama yang sangat akrab di hatiku, Ariel My Lovely.
“Ada apa sih malem-malem telpon?” aku sedikit kesal.
“Maaf beib, aku enggak bermaksud mengganggu,”
“Hmmm…” gumamku.
“Udah buka kotaknya?”
“Baru mau aku buka,”
“Jangan di buka! Aku salah kasih kotak!” tukasnya.
Sinar mentari yang menembus lewat celah-celah jendela kamar membangunkanku dari tidur lelapku. Pagi telah menyapa. Ada perasaan aneh menyergapku.
“Mimpi yang aneh,”
###
“Mimpi dalam mimpi maksud lo?” ujar Dita ketika kami berjalan di koridor kelas.
Aku menganggukkan kepala membenarkan ucapannya. Aku menceritakan mimpi aneh yang aku alami semalam. Mimpi yang telah membuat tanda tanya besar di pikiranku.
“Segitunya elo ngarepin Ariel ngasih kejutan, sampai ke bawa mimpi segala,” cetusnya.
Aku terdiam menelaah ucapan Dita, sahabatku. Selalu kuceritakan padanya mengenai hubunganku dengan Ariel. Ya, Ariel adalah sosok pendiam, sudah lama aku mengaguminya. Beruntung, sudah setahun ini aku menjadi kekasihnya. Tapi sayang, Ariel tak seromantis yang kuduga. Ia jarang memberikan kejutan untukku, sebuah benda kecil pun tak pernah ia berikan. Selama berpacaran hanya sekali ia memberikan hadiah untukku, itupun saat ia mengungkapkan perasaannya padaku. Ya, sebuah boneka lumba-lumba dan sekotak besar cokelat, kesukaanku. Setelah itu, tak ada hadiah-hadiah untukku. Masihkan ia sayang padaku?
“Aarggghhh… Gue juga iri dengan pasangan lain, Dit. Seandainya kejadian semalam bukan sekedar mimpi belaka.” Keluhku.
“Sabar ya, Rin. Tuh pasangan jiwa lo dateng,” Dita melirik ke salah satu arah.
Kulihat Ariel menghampiri kami dari arah yang di lirik Dita.
“Pagi, Beib,” sapanya.
Aku tersenyum menyimpan kekesalanku padanya. Tak mungkin aku menunjukkan rasa kesalku ini. Aku tak ingin ia berpikiran kalau aku ingin mengakhiri hubungan ini, aku masih begitu mencintainya.
Ariel mengeluarkan sekotak mungil dari saku celananya, lantas ia memberikannya padaku. Kuterima kotak itu dengan perasaan yang sama dalam mimpi semalam, sebuah perasaan hampa penuh tanda tanya.
”Buat kamu. Bukalah saat menjelang tidur malam nanti,” katanya sembari berlalu dengan senyum manisnya itu.
Aku dan Dita begitu tertohok dengan peristiwa yang kami alami barusan.
“Jangan bilang kalau ini mimpi juga!” ujar Dita lirih.
Aku terpaku, sebuah tanda tanya besar di pikiranku semakin membesar. Ya, semoga ini bukan mimpi.
“Entahlah… Semoga saja tidak,” gumamku, berharap.
---Selesai---
0 komentar:
Post a Comment