API…
Ya, A-P-I begitulah kau menamai dirimu.
Kau bilang, kau ingin seperti Api sebab kau ingin berbeda dengan yang lain, kau
juga ingin seperti api yang menyala; yang setiap waktu dapat menyemangati orang
lain –tidak hanya kau sendiri yang memiliki semangat tersebut. Mungkin itu
filosofi yang saya ingat darimu. “Nice philosophy.” Batin saya kala itu.
Diluar
filosofi yang keren itu. Saya sedikit kesal dengan sikapmu, Api. Hmmm… kau
mungkin tahu tindakan apa yang membuat saya kesal?
Baiklah… akan
saya beritahu. Namun bisakah kau jawab beberapa pertanyaan saya berikut?
1. Kau tahu, kesehatan akan di bayar mahal ketika kesakitan datang?
2. Kau tahu, mencegah lebih baik daripada mengobati?
1. Kau tahu, kesehatan akan di bayar mahal ketika kesakitan datang?
2. Kau tahu, mencegah lebih baik daripada mengobati?
Cukup, hanya
itu saja pertanyaan dari saya.
Api, kau
sering mengeluh tentang kepalamu yang sakit menyiksa itu. Mungkin itu karena Darah Rendahmu
kambuh. Jujur, saya kecewa! Bukan, bukan karena kau sering mengeluh sakit, tapi
kecewa karena selalu mengabaikan rasa sakit itu. Seharusnya kau tahu, sekecil
apapun penyakit bila dibiarkan maka akan berbahaya nantinya. Ya,
walaupun saya tidak terlalu paham dengan Darah Rendah, tapi saya mengerti bahwa setiap
penyakit akan berujung pada kata ‘berbahaya’. Setidaknya sakit kepala yang sering menderamu adalah pengingat bahwa kau tak boleh menyepelekannya.
Api, coba deh kita berpikir. Kita
anak pertama. Kita tulang punggung orang tua kita. Di pundak kita ada jutaan
harapan mereka. Tentulah kita akan merasa bahagia ketika mampu membuat mereka
tersenyum. Apakah kita bisa tersenyum padahal kita merasakan kesakitan yang
mendera tubuh kita? Tegakah kita jika harus menipu mereka dengan senyum palsu
kita?
Api, bisa tidak kau bayangkan.
Bagaimana kau bisa bertahan hingga membuat mereka tersenyum, sedangkan
kesakitan itu terus mendera? Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi jika kau
sendiri tidak berusaha untuk mengatasinya? Kau mau menunggu sakit itu kian parah?
Bukankah itu justru akan membuat mereka bersalah; bersalah karena kau tak
menganggap kehadiran mereka? Terlebih tentang senyum palsu itu!
Api, lagi-lagi tentang kesakitan
yang selalu kau anggap sepele. Tidakkah kau berpikir kelak kau akan menyesal
karena telah menyepelekan kesakitan itu? Saya banyak membaca tentang beberapa
berita, banyak orang-orang yang (mungkin) terpaksa pergi meninggalkan
orang-orang yang di sayanginya karena penyakitnya kian parah; kesakitan yang
dulu selalu dianggapnya sepele. Apakah kau ingin seperti itu? Semoga saja
tidak.
Huffh… Maaf jika saya men-judge
dirimu melalui coretan ini. Tapi ketahuilah, mungkin dengan ini kau bisa tahu
apa yang saya pikirkan ketika kau menyepelekan kesakitan itu. Jangan jadikan
coretan ini sebagai beban. Coretan ini saya ketik hanya sebagai bahan renungan;
bukan hanya renungan untuk kau namun juga untuk saya.
Ingat, jangan sepelekan kesakitan
dan ingatlah harapan-harapan orang tua di pundak kita…
^_^
Tangerang, 22 Januari 2013
12:05 am
0 komentar:
Post a Comment